Learn Science With Ilmusiana

2020+ Contoh Teks Hikayat Singkat Indonesia

Dalam uraian ini, kami akan memberikan contoh teks cerita hikayat singkat/pendek dalam bahasa Indonesia. Misalnya, hikayat Arab, Melayu Asli, dan Aceh dengan tema kerajaan banyak digemari oleh masyarakat. Mungkin, mereka terpukau dengan cerita kepahlawanan dari para tokoh hikayat yang penuh mukjizat dan keajaiban. Beberapa contoh hikayat yang terkenal, antara lain: Hikayat Bayan Budiman, Hang Tuah, Si Miskin, Indera Bangsawan, Bunga Kemuning, Iskandar Zulkarnain, dan sebagainya.

contoh hikayat

Semua hikayat itu turut memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia. Meskipun, sifatnya hanya sebagai cerita rekaan atau dongeng, namun hikayat sering dijadikan sebagai sumber nilai, seperti nilai agama, moral, budaya, estetika, dan pendidikan. Bahkan, banyak juga masyarakat yang menganggapnya sebagai kenyataan sejarah yang betul-betul terjadi di masa lalu.

Cerita hikayat yang beredar saat ini berasal dari masa lalu yang diceritakan secara turun temurun. Dengan cara yang sangat sederhana (cara lisan), hikayat tersebut melintasi ruang dan waktu, generasi ke generasi, hingga sampai di zaman kita sekarang ini. Hikayat akan terus diceritakan karena nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya akan selalu relevan sampai kapan pun.

Kami akan menampilkan semua contoh hikayat itu untuk Anda baca agar bisa menyerap pesan dan amanat yang di bawa oleh masing-masing hikayat tersebut. Berikut ini contohnya:

Contoh Hikayat

Judul-judul hikayat yang akan kami tampilkan dalam contoh ini adalah Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Hang Tuah, Si Miskin, Indera Bangsawan, Bunga Kemuning, Iskanda Zulkarnain, Malim Deman, dan lain-lain. Yuk, mari kita mulai saja contohnya:

Contoh 1: Hikayat Bayan Budiman

Hikayat ini mengisahkan tentang Burung Bayan yang sedang mencegah tindakan penyelewengan yang dilakukan oleh seorang perempuan muda. Hikayat Bayan Budiman termasuk ke dalam contoh hikayat Melayu yang menyadur cerita Sukasaptati dari India. Pengarang hikayat Bayan Budiman mengambil adaptasi dari Persia yang diterjemahkan oleh Kadi Hassan pada tahun 1371 M. 

Hikayat Bayan Budiman

Pada zaman dahulu kala, di Kerajaan Azam hiduplah seorang saudagar kaya yang sudah berkeluarga bernama Khojan Mubarok. Kebahagiaan keluarga itu kurang lengkap karena belum juga dikaruniai momongan. Meskipun begitu, sang saudagar kaya tidak putus asa dan tak lelah memanjatkan doa agar harapannya segera terkabul.

Penantian yang panjang itu pun berakhir, sang istri akhirnya mengandung lalu melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Khojan Maimun. Maimun tumbuh menjadi seorang anak yang baik hati dan saleh. Saat usianya menginjak 15 tahun, sang pemuda dinikahkan dengan Bibi Zainab, anak dari seorang saudagar kaya.

Hingga pada suatu hari, Khojan Maimun meminta izin kepada sang istri untuk pergi berlayar. Sebelum pergi berangkat, Khojan Maimun membeli seekor burung bayan jantan dan burung tiung betina. Dia berpesan kepada istrinya jika menghadapi masalah sebaiknya dibicarakan dengan kedua burung itu.

Setelah beberapa lama ditinggal suaminya, Bibi Zaenab pun merasa kesepian. Hingga suatu hari datanglah seorang anak raja yang terpikat dengan kecantikan Bibi Zaenab dan berniat mendekatinya. Lelaki tersebut kemudian meminta seorang perempuan tua untuk membantunya berkenalan. Bak gayung bersambut, ternyata Zaenab juga menaruh hati pada laki-laki itu dan mereka saling jatuh cinta.

Suatu malam, Bibi Zaenab akan pergi dengan si anak raja dan berpamitan dengan burung tiung. Burung tiung kemudian menasihatinya untuk tidak pergi karena hal tersebut melanggar aturan Allah SWT karena dia sudah mempunyai seorang suami. Mendengar hal itu, wanita itu marah lalu membanting sangkar hingga menyebabkan burung itu mati.

Bibi Zaenab kemudian melihat burung bayan yang sedang tidur. Sebenarnya, burung bayan hanya berpura-pura tidur saja karena jika dia memberikan jawaban yang sama dengan burung tiung, maka nyawanya juga akan terancam.

Saat dipamiti oleh Zaenab, burung bayan itu berkata, "Anda boleh pergi, cepatlah karena anak raja itu sudah menunggu. Apapun yang Anda lakukan, hamba yang akan menanggungnya. Apalah yang dicari manusia di dunia ini selain martabat, kesabaran, dan kekayaan? Hamba ini hanyalah seekor burung bayang yang dicabut bulunya oleh istri tuanku."

Malam-malam selanjutnya, Bibi Zaenab kemudian sering pergi untuk bertemu dengan anak raja. Setiap kali dia berpamitan, burung bayan menceritakan sebuah kisah. Hingga pada hari ke-24, wanita itu menyesali perbuatan dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Contoh 2: Hikayat Hang Tuah

Hikayat Hang Tuah adalah karya sastra termasyhur dari Melayu yang menceritakan tentang Hang Tuah, seorang Laksamana yang hidup pada masa Kesultanan Malaka. Beliau sangat disukai oleh raja berkat kehebatan dan keberaniannya. Hang Tuah menjadi wakil atau duta dari negaranya untuk mengurus berbagai hal. Hikayat ini sendiri bercerita tentang kisah kesetiaan Hang Tuah kepada sang Sri Sultan. Hikayat ini mengambil latar sekitar Malaka di Abad ke-14 Masehi.

Hikayat Hang Tuah 

Bintan adalah sebuah pulau yang indah dan subur di perairan Riau. Setelah sekian lama bagai tak berpemimpin, sekarang Bintan sudah beraja. Nama raja itu Sang Maniaka. Ia adalah putra pertama Sang Purba, raja besar yang bermahligai di Bukit Siguntang, Palembang. Kabar ini menyebar mulai dari tanjung, teluk, anak sungai, bukit, sampai ke pelosok-pelosok tasik rantau Melayu, dan disambut dengan sukacita. Kabar itu sampai pula ke Sungai Duyung, kampung halaman Hang Mahmud dan Dang Merdu, ayah dan bunda Hang Tuah.

Pada Suatu malam, Hang Mahmud bermimpi melihat bulan turun dari langit. Cahayanya memancar penuh menyinari kepala Hang Tuah. Ketika terbangun, Hang Mahmud memeluk dan mencium putranya itu dengan air mata berlinang. Mimpi itu merupakan pertanda baik, dan Hang Mahmud merasa sangat bahagia.

Esok harinya, Hang Mahmud melangir Hang Tuah serta memandikannya dengan air bunga. Si Tuah diberi pakaian berupa kain dan baju daster serba putih, serta diberi makan nasi kunyit dan telur ayam. Kemudian Hang Mahmud menjemput orang tua-tua untuk membacakan doa selamat.

"Anak kita ini harus dipelihara baik-baik," ujar Hang Mahmud kepada istrinya, Dang Merdu.

Selanjutnya Hang Tuah dititipkan mengaji dari satu guru mengaji ke guru mengaji lainnya, mulai dari guru peranakan Keling sampai ke guru peranakan Cina. Selain mendalami ilmu agama, Hang Tuah juga mahir berbicara dalam beberapa bahasa, mulai dari bahasa Melayu sampai bahasa Keling, Jawa, Cina, Portugis, dan bahasa-bahasa lainnya.

Ketika berusia sepuluh tahun, Hang Tuah bersama empat karibnya, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir dan Hang Lekiu pergi berlayar ke Laut Cina Selatan. Sebelum berangkat, masing-masing dari mereka diberi sebihlah keris oleh orang tua mereka.

Di tengah pelayaran, di Riau Kepulauan. tiba tiba mereka diserang tiga buah perahu lanun. Namun mereka tidak sedikit pun gentar. Untuk menghadapi para lanun, Tuah mengarahkan perahunya ke sebuah pulau. Perahu mereka kecil, sedang ketiga perahu para lanun lebih besar. Mereka akan kalah kalau berperang di laut. Para lanun terus mengejar perahu Hang Tuah.

Setibanya di pulau, pertempuran sengit segera terjadi. "Hai, budak-budak degil! Lebih baik kalian menyerah supaya tidak kami bunuh!" teriak salah seorang lanun. "Cih! Kalianlah yang harus tunduk kepada kami!" jawab Tuah. Malang bagi para lanun itu. Banyak di antara mereka yang terkena tempuling, seligi, dan sumpitan Hang Tuah dan teman-temannya.

Pertarungan sengit itu dimenangkan Tuah dan teman-temannya. Banyak lanun yang terluka, hingga tinggal sepuluh orang yang akhirnya melarikan diri. Para lanun yang terluka dibawa Hang Tuah dan ke empat karibnya ke Singapura. Di tengah Iautan, perahu Hang Tuah kembali dikejar gerombolan lanun yang sebelumnya sempat melarikan diri. Untunglah, saat itu tujuh buah perahu Batin Singapura sedang melintas menuju Bintan. Tujuh perahu itu segera menghadang perahu para lanun, yang akhirnya berbalik arah dan melarikan diri.

Keberanian Tuah dan teman-temannya diceritakan Batin Singapura kepada Bendahara Paduka Raja Bintan. Tuan Bendahara sangat kagum, dan berniat suatu ketika akan memanggil anak-anak itu.

Setelah pertarungan dengan para lanun di tengah laut, Hang Tuah dan keempat karibnya berguru pada seorang pertama yang bernama Aria Putra yang mempunyai dua saudara. Sang Persata Nala dan Raden Aria Sena. Sang Persata Nala juga seorang pertapa di Gunung Wirana Pura, sedangkan Raden Aria Sena adalah pegawai Kerajaan Majapahit.

Suatu hari, sekembali dari berguru, Tuah membelah kayu api dengan sebilah kapak di depan kedai orang tuanya.

Tiba-tiba ada orang mengamuk. Orang-orang kampung dikejarnya Siapa pun yang mendekat langsung ditebasnya. Puluhan orang kampung mati dan terluka. Penduduk lainnya lari lintang pukang dan bersemunyi. Sambil menghunus keris, pengamuk itu semakin mendekati Hang Tuah. Melihat kejadian itu, Dang Merdu, ibu Hang Tuah, berteriak dari atas loteng.

"Hei, Anakku. Cepatlah naik ke kedai!"

Mendengar suara ibunya, Tuah langsung terkesiap dan seketika menyiagakan kapak di tangannya. Ia menghadapi pengamuk itu dengan gagah berani. Terjadilah perkelahian yang seru dan mendebarkan. Dengan ketangkasan dan kecerdikannya, akhirnya Tuah dapat mengalahkan si pengamuk. Orang-orang yang bersembunyi segera keluar. Mereka terkagum-kagum melihat kehebatan Hang Tuah.

"Kelak, anak ini akan jadi hulubalang besar di Tanah Melayu," kata seorang penduduk.

Beberapa hari kemudian, Hang Tuah dan keempat karibnya kembali berhasil mengalahkan empat pengamuk yang ingin mengganggu Bendahara Paduka Raja Bintan. Beliau sangat kagum dan berterima kasih kepada Hang Tuah dan kawan-kawannya, lalu mengangkat kelimanya sebagai anaknya. Kisah keberanian Hang Tuah dan teman-temannya disampaikan Bendahara Paduka Raja kepada Raja Bintan, Baginda Raja Syah Alam. Baginda Raja pun tertarik dan mengangkat kelima anak itu sebagai anaknya pula. Baginda lalu menghadiahkan sebilah keris yang elok kepada Hang Tuah. Setelah menyambut keris dan memberi hormat kepada Baginda Raja, Hang Tuah bersilat sambil berseru-seru.

"Cihh, manakah dia Hulubalang Melayu? Empat, lima orang tiada aku gentar menghadapinya!"

Baginda Raja tersenyum melihat kelucuan si Tuah. Diantara empat puluh Anak angkatnya, Baginda Raja menilai Hang Tuahlah yang paling pandai. Walaupun Hang Tuah masih kecil, tak jarang Baginda Raja meminta pendapabtnya jika menghadapi suatu masalah.

Beberapa tahun kemudian...

Baginda Raja Syah Alam ingin mencari tempat untuk dijadikan pusat kerajaan yang baru. Maka bertolaklah beliau bersama para pembesar kerajaan, Hang Tuah, dan keempat karibnya. Salah seorang tamu, Raden Wira Nantaja, Pangeran dari Daha, Tanah Jawa, juga diajak melancong ke sekitar Selat Melaka dan Selat Singapura. Karena gemar berburu, Baginda Raja kemudian singgah di Pulau Ledang, dekat Semenanjung Melayu, untuk berburu.

Ketika sedang berburu, rombongan Baginda Raja melihat seekor kancil putih sebesar kambing. Untuk menangkapnya, Tuah segera melepaskan dua ekor anjingnya, Kibu Nirang dan Rangga Raya. Namun, kedua anjing itu justru digigit dan diterjang si kancil hingga jatuh ke dalam sungai. Hang Tuah dan Hang Jebat heran melihat kegarangan kancil itu. Anehnya lagi, ketika dikejar, kancil itu pun tiba-tiba menghilang begitu saja.

"Menurut petuah dari orang tua-tua, jika ada kancil putih di hutan atau di mana saja, maka tempat itu bagus dibuat negeri," kata Bendahara Paduka Raja. Setelah meminta pendapat para pembesar lainnya, usul Bendahara Paduka Raja disetujui. "Baiklah kalau memang begitu. Kita akan membangun negeri baru di sini." Kata Baginda Raja.

Baginda Raja Syah Alam kemudian menitahkan Bendahara Paduka Raja dan Temenggung untuk memimpin pembangunan negeri di Pulau Ledang itu. Di tempat inilah pada mulanya diketemukan pohon Melaka yang kemudian menjadi asal-usul nama Melaka.

Di tengah kesibukannya memerintah negeri Kerajaan Malaka, Raja Syah Alam mendengar ada seorang putri cantik. Putri itu bernama Tun Teja, putri tunggal Bendahara Seri Benua di Indrapura. Dia cantik, tetapi keras kepala. Raja Syah Alam berkenan untuk meminang Tun Teja, sehingga diutuslah Tun Utama dan Tun Bija Sura ke lndrapura.

"Kami menyambut baik pinangan Raja Melaka. Namun, perlu jugalah Iebih dulu kami tanyakan kepada putri kami," kata Bendahara Seri Benua ketika menerima Tun Utama dan Tun Bija Sura di Balai Kerajaan. Dia berkata demikian karena sudah sering putrinya menolak lamaran anak-anak raja lainnya.

Bendahara Seri Benua lalu menemui Tun Teja dan mengutarakan maksud kedatangan utusan Malaka tersebut.

Mendengar penjelasan ayahnya, Tun Teja menjawab, "Ayahanda, Raja Malaka adalah putra dari seorang raja besar sedangkan hamba hanyalah anak dari seorang raja kecil. Jadi mohon ampun, janganlah ananda dijodonkan dengan Raja Melaka itu!" kata Tun Teja

Tak hanya Bendahara Seri Benua, permaisuri pun membujuk Tun Teja. Namun, Tun Teja malah berkata, "Dibunuh pun saya rela, asalkan saya jangan dipaksa menikah dengan Raja Malaka itu," tangis Tun Teja di pangkuan ibunya.

Akhirnya, Tun Utama dan Tun Bija Sura pun pulang ke Malaka tanpa berhasil meminangkan Tun Teja untuk Baginda Raja Syah Alam.

Baginda Raja Syah Alam sangat sedih pinanannya ditolak. Patih Kerma Wijaya mengusulkan agar Baginda Raja meminang putri tunggal Seri Betara Majapahit, Raden Galuh Mas Ayu. Mendengar hal itu, Raja Syah Alam lalu memerintahkan Patih Kerma Wijaya dan Hang Tuah serta keempat karibnya untuk pergi ke Majapahit. Mereka kemudian menyiapkan sebuah perahu yang sangat megah, bernama Mendam Birahi. Perahu itu sangat cepat. bak burung terbang menuju Tanah Jawa.

Setibanya di Majapahit. rombongan dari Malaka itu disambut dengan upacara kebesaran. Mereka diarak dengan empat puluh payung iram sebagai payung kebesaran kerajaan. Akan tetapi tiba-tiba muncul enam puluh orang mengamuk. Hang Tuan dan keempat karibnya tidak gentar. Terjadilah perkelahian, hingga akhirnya, para pengamuk yang ternyata diatur Patih Gajah Mada untuk menguji mental anak-anak Melayu itu mundur begitu saja.

Ketika sampai di paseban istana, Patih Kerma Wijaya meng-utarakan maksud kedatangan mereka, yaitu meminangkan Raden Galuh Mas Ayu bagi Raja Malaka. Pinangan tersebut disambut dengan sukacita, baik oleh Patih Gajah Mada maupun oleh Seri Betara Majapahit, yang bahkan menyarankan agar pernikahan segera dilaksanakan. Utusan Raja Syah Alam pun pulang ke Malaka dengan gembira.

Setibanya kembali di Malaka, Patih Kerma Wijaya melaporkan diterimanya pinangan Raja Syah Alam. Baginda Raja sangat gembira. Setelah melakukan persiapan beberapa hari, Raja Syah Alam lalu pergi ke Majapahit dengan perahu kebesaran Kota Segara. Perahu itu dilengkapi meriam dan dihiasi dengan berbagai ukiran Melayu. Perahu pengiringnya adalah Mendam Birahi.

Sesampainya di Majapahit Baginda Raja Syah Alam dan rombonan disambut, dan diarak dengan gajah menuju istaga Seri Betara, diiringi beberapa gajah lain dan kuda-kuda yang dihias. Tuah dan keempat karibnya tidak pernah jauh dari Bagnda Raja Syah Alam. Mereka disambut oleh raja-raja yang takluk kepada Majapahit beserta semua menteri dan kesatrianya.

Arak-arakan itu sangat semarak dan meriah. Payung iram kuning terkembang memanjang. Bunyi gendang, merangu, nafiri, gamelan, dan bermacam-macam alat musik lainnya semarak ramai mengiringi langkah para rombongan.

Setelah diterima Seri Betara, rombongan Raja Syah Alam istirahat selama beberapa hari di istana, menunggu tibanya hari pernikahan. Istana dan kota Majapahit dihias warna-warni. Segala permainan muncul di setiap sudut kota. Suara musik terus terdengar bagaikan tak pernah ada habisnya.

Sehari menjelang hari pernikahan, Raja Syah Alam dan rombongan beserta raja-raja yang takluk kepada Majapahit dijamu makan dan minum bersama di paseban istana. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh, menyeruak di tengah-tengah keramaian.

"Taming Sari mengamuk….!" Pekik orang-orang sambil berlarian. Taming Sari adalah prajurit Majapahit yang sudah tua, tapi sangat kuat dan tangguh. Langkahnya cepat bagaikan kilat. Ketika ia sampai ke tempat perjamuan, Seri Betara segera membawa masuk Raja Syah Alam ke dalam istana. Tujuh lapis pintu istana pun ditutup. Hang Tuah segera berdiri menghadap Taming Sari.

Mengetahui dirinya dihadang, Taming Sari lalu menyerang Tuah. Serangan itu segera dibalas Tuah dengan tusukan keris. Anehnya, tusukan itu tidak berbekas pada tubuh Taming Sari. Karena memiliki firasat kalau kekuatan musuhnya terletak pada kerisnya, Hang Tuah segera berpikir untuk memperdayai Taming Sari.

"Hai, Taming Sari. Kau hanya seorang diri, sedangkan Seri Betara raja besar. Kalau beliau menginginkan engkau mati, mati juga engkau dengan sia-sia. Jika engkau ingin hidup, lebih baik kita bekerja sama. Seri Betara dan Gajah Mada kita bunuh. Engkau menjadi raja dan aku menjadi patihnya. Siapa yang sanggup melawan kita berdua? Aku lihat kerismu kurang kukuh. Ambil kerisku ini!"

Taming Sari terjebak siasat Tuah. Dia bersedia menukarkan kerisnya. Setelah mendapat keris Taming Sari, Hang Tuah menyerang. Mereka bertarung lagi. Taming Sari makin ganas menyerang. Karena gencarnya serangan itu, suatu ketika keris di tangan Taming Sari tertancap pada papan tebal di depan paseban istana. Pada saat berusaha mencabut kerisnya, Taming Sari tidak sanggup menghindari serangan Hang Tuah.

Akhirnya, Taming Sari rubuh. Hang Tuah lalu naik ke paseban istana, menyerahkan keris Taming Sari kepada Seri Betara. Namun, Seri Betara malah menghadiahkan keris itu dan menganugerahkan gelar Laksamana kepada Hang Tuah.

Ketika hari pernikahan tiba digelarlah upacara pernikahan yang megah dan meriah selama tujuh hari tujuh malam.

Larut tengah malam pada hari pertama, Hang Tuah dan keempat karibnya menlnggalkan istana tanpa pamit. Mereka menuju Gunung Wirana Pura menemui Sang Persata Nala. Saudara Aria Putra, untuk berguru. Sesampainya di kaki gunung. Tuah dan teman-temannya bertemu dengan murid-murid Sang Persata Nala.

"Tiga puluh orang anak raja yang mengabdi kepadanya pun tidak diajari, apalagi kalian. perantau jauh. Manalah pula Mahaguru berkenan untuk mengajar kalian."

"Kalau beliau tidak mau juga tidak apa-apa," kata Tuah si Laksamana, "bagaimana pun kami ingin bertemu dengannya lebih dulu."

Setelah beristirahat semalam di kaki gunung, esok paginya Tuah dan keempat karibnya mendaki gunung, menemui Sang Persata Nala. Ternyata Sang Persata Nala berkenan menerima dan keempat karibnya sebagai murid. Lalu bergurulah mereka selama tiga hari tentang ilmu keprajuritan dan ilmu hulubalang. Hang Tuah memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Hampir tiada mau ia berpisah dengan Sang Guru. Tak mengherankan kalau dia mendapat ilmu yang lebih banyak dibanding teman-temannya.

Setelah tiga hari, Hang Tuah dan teman-temannya mohon pamit kepada Sang Persata Nala untuk kemball ke Kotaraja Majapahit.

Hari kelima, Hang Tuah bersama teman-temannya sudah kembali berada di Kotaraja Majapahit. Mereka masih melihat kesibukan perhelatan pesta pernikanan itu. "Ke mana saja ananda-ananda ini? Lama sekali tak terlihat," tanya Patih Gajah Mada kepada mereka.

"Maafkan saya, Paman. Saya sakit," jawab Tuah yang lihai.

Seri Betara pun heran melihat Hang Tuah baru muncul. Saat beliau bertanya jawaban Hang Tuah tetap sama. Tanpa bertanya lagi, Seri Betara langsung berseru pada Sang Patih. "Hai, Patih Gajah Mada. Tolong ambilkan minuman arak empat piala untuk Laksamana!"

Hang Tuah dan para pembesar kerajaan lalu minum arak sambil bersuka ria. Walaupun sudah minum banyak, Hang Tuah tampak segar bugar.

"Seri Betara dan Patih Gajah Mada menjebak aku," pikir Hang Tuah. "Apabila aku mabuk, aku pun akan mereka habisi."

Hang Tuah tak habis pikir. Walaupun tampak baik, Raja Majapahit itu selalu ingin mencoba ketangguhannya dengan membuat kegaduhan dan tipu muslihat, peristiwa Taming Sari, dan saat ini, memaksanya agar mabuk. Untunglah, semuanya dapat dihadapi Hang Tuah.

Hingga pesta pernikahan selesai, Hang Tuah dapat melewati malam dan hari-hari selanjutnya dengan aman. Ketika pesta pernikahan selesai, Raja Syah Alam mohon pamit pulang ke Malaka bersama istrinya, Raden Galuh Mas Ayu.

Menjelang kepulangan ke Malaka, ketika Raja Syah Alam menghadap Seri Betara di istana untuk pamit. Hang Tuah bersama keempat karibnya pergi ke Taman Larangan yang hanya boleh dipakai Seri Betara dan permaisurinya. Mereka hendak membalas perbuatan yang dilakukan Seri Betara dan Patih Gajah Mada, yang sudah berkali-kali ingin membunuh mereka. Sesampainya di taman larangan, Hang Tuah menyergap penjaga taman yang sedang tertidur, lalu memaksanya membuka pintu taman.

"Tuan-tuan, jangan mandi di kolam Baginda Raja dan permaisuri itu!" seru penjaga taman saat melihat Hang Tuah dan keempat karibnya menceburkan diri ke kolam.

"Oleh karena taman Baginda Rajalah, kami mandi di sini," sahut Hang Jebat diikuti tawa keempat karibnya tanpa memperdulikan kekhawafiran penjaga taman.

Setelah puas mandi di kolam, kelima sekawan itu naik ke pinggir kolam. Berbagai bunga yang mekar mereka petik dan dibuat karangan bunga.

Karangan bunga itu mereka kalungkan ke leher masing-masing. Sesudah itu, mereka memetik dan memakan buah-buahan yang ada di situ, sambil bermain-main seperti anak kecil. Mereka berpantun.

Pantun Hang Jebat:
Hang Jebat Hang Kasturi,
Budak-budak Raja Malaka.
Jika hendak jangan dicuri,
Mari kita bertantang mata.

Pantun Hang Tuah:
Lokan melata di perahu,
Belah belang bercendawan.
Bukan aku tidak tahu,
Akulah hulubalang minta lawan.

Pantun Hang Kasturi:
Gajah lekir kuda perkasa,
Di mana akan aku hempaskan.
Sama lebur sama binasa,
Orang kaya di mana akan aku tunangkan.

Pantun Hang Lekir:
Adakah perisai bertali rambut,
Rambut dipintal tali cemara.
Adakah bisai tahu takut,
Kami pun muda lagi perkasa.

Pantu Hang Lekiu :
Ambil galah kaitkan jantung,
Kelelawar banyak makan di jalan.
Pada Tuhan kita bergantung,
Datang tombak kita melawan.


Karena takut, penjaga taman pun langsung melapor pada Seri Betara.

Mendengar laporan penjaga taman, Seri Betara bukan main geramnya. Raja Syah Alam yang duduk di sebelah Seri Betara pun segera menyela, "Ampunkan saya, Ayahanda! Saya tak tahu kalau Tuah dan teman-temannya berani berbuat lancang. Kalau memang ceroboh. hukumlah mereka dengan semestinya!" kata Baginda Raja Syah Alam tertunduk.

"Hai. Pengawal. Kerahkan prajurit-prajurit bertombak ke sana! Bunuh si Tuah dan teman-temannya!" seru Seri Betara dengan rnarah.

Setibanya di taman larangan. para prajurlt langsung menyerang Hang Tuah dan teman-temannya. "Ini yang kucari," gumam Tuah Sang Laksamana. Hang Tuah dan keempat karibnya pun main libas saja. Hampir semua prajurit binasa di tangan mereka. Si komandan pengawal segera menghadap Seri Betara.

"Ya. Tuanku. Jangankan mati, luka pun mereka tidak. Sedangkan prajurit kerajaan binasa semua. Seorang pun tak ada yang tersisa."

"Mari kita menghadap Seri Betara, mempersembahkan tombak prajuritnya yang putus ini," kata Tuah Sang Laksamana yang sakti kepada keempat karibnya. Mereka mencuci tangan di kolam, kemudian pergi ke paseban istana.

Seri Betara segera memalingkan muka saat melihat kedatangan Tuah Sang Laksamana dan teman-temannya. Namun, Laksamana Hang Tuah tetap saja menghadap dan memberi hormat kepada Seri Betara.

"Ya Tuanku. Ampunkan kami! Kami ini tidak tahu kalau tempat kami mandi itu taman larangan, sehingga kami dikepung oleh para prajurit. Kami pun tidak tahu kalau Tuanku ingin memperingatkan kami. Itulah sebabnya, semua prajurit kami lawan," Tuah Sang Laksamana coba menjelaskan.

"Jika Laksamana Hang Tuah memang tak tahu bahwa itu taman larangan, apa mau dikata," kata Seri Betara kemudian. "Tetapi jika orang Iain yang berbuat demikian, tahulah dia balasan apa yang mesti diterimanya."

Baginda Raja Syah Alam bersama istrinya, Raden Galuh Mas Ayu, dan rombongan kemudian pamit pulang ke Malaka.

Contoh 3: Hikayat Si Miskin

Hikayat Si Miskin adalah kisah yang berasal dari Melayu yang dikarang oleh Aman Datuk Madjoindo. Hikayat ini menceritakan tentang kehidupan pasangan suami istri yang berhasil mengubah hidupnya menjadi kaya raya. Namun, karena mereka terlalu percaya dengan hasutan seorang ahli nujum, mereka akhirnya menjadi miskin kembali. Berikut ini kisah lengkapnya:

Hikayat Si Miskin

Hikayat ini menceritakan orang pada zaman dahulu sekali. Suatu peristiwa yang mana Allah SWT menunjukkan kekayaanNya kepada hambaNya. Menceritakan orang miskin suami-isteri yang mencari rizki ke negara antah berantah. Nama raja dalam negara tersebut adalah Indera Dewa. Beliau teramat mahsyur. Raja-raja di tanah Dewa tersebut takluk kepada Baginda dan membayar upeti setiap tahunnya.

Suatu hari baginda sedang berkumpul bersama raja-raja, menteri dan hulubalang serta rakyatnya. Lalu Si Miskin menuju ke tempat berkumpul tersebut.  Orang-orang melihatny, Si miskin suami-isteri tersebut berpakaian usang seperti habis dimamah anjing. Orang-orang tertawa melihatnya sambil mengambil kayu dan batu. Si Miskin dilempari tubuhnya dan bengkak serta berdarah. Baginda berkata "Ada apakah gerangan di luar itu?". Mereka menjawab "Ya tuanku Syah Alam, orang melempari Si Miskin tuanku". Baginda berkata "Usirlah jauh-jauh!." Diusirlah oleh orang-orang Si Miskin tersebut hingga ke tepi hutan dan orang-orang kembali.

Setelah hari mulai malam, baginda masuk ke dalam istananya. Seluruh raja, menteri dan hulubalang serta rakyat pulang ke rumahnya. Sedangkan Si Miskin ketika malam ia tidur di dalam hutan. Setelah siang hari ia masuk ke dalam negeri mencari rizkinya. Ketika sampai di dekat kampung, apabila warga kampung melihatnya ia diusir dengan kayu dan Si Miskin lari ke dalam pasar. Apabila orang pasar melihat Si Miskin datang maka orang pasar melemparinyadenagn batu bahkan memukulnya dengan kayu. Si miskin menangis kencang sepanjang jalan karena lapar dan haus seperti hendak mati. 

Ketika bertemu tempat sampah ia berhenti. Dicarinya makanan di atas tumpukan sampah. Didapatinya ketupat basi dan sebuku tebu lalu dimakan bersama isterinya. Setelah dimakannya ia merasa badannya agak segara karena telah beberapa hari tidak makan nasi karena Ia takut hendak meminta kepada orang. Jangankan diberi, datang ke rumahnya pun diusir. Begitulah kehidupan Si miskin setiap hari.

Ketika hari sudah petang, si miskin masuk ke dalam hutan tempatnya sediakala. Di sanalah ia tidur. Ia menyapu darah di tubuhnya yang sudah kering lalu tidur. Setelah pagi datang, Ia berkata kepada Isterinya: "Ya istriku, matilah rasanya. Tubuhku sangat sakit, rasanya tubuhku hancur". Katanya sambil menangis. Isterinya merasa iba melihat suaminya. 

Sang isteri ikut menangis sambil memamah daun untuk dioleskan ke tubuh suaminya sambil berkata "Diamlah tuan, jangan menangis! Seduhlah dengan anting kita!". Sebenarnya Si Miskin adalah raja Keinderaan yang terkena kutukan Batara Indera hingga seperti itu. Suaminya itupun segera sembuh dan masuk ke dalam hutan mencari ambat muda yang bisa dimakan dan dibawa kepada isterinya. Seperti itulah suami isteri itu.

Setelah beberapa lama, Isteri Si miskin hamil tiga bulan. Isterinya menangis meminta buah mangga yang ada di taman raja. Suaminya teringat antingnya ketika menjadi raja ia tidak mau memiliki anak dan sekarang telah menjadi hal genting dan berkata kepada isteinya "Hai adinda, apakah engkau hendak membunuhku?, lupakah engkau masalah kita. Jangankan meminta barang, masuk ke dalam kampung saja tidak boleh." Setelah isterinya mendengar hal itu, ia makin menangis. Suaminya berkata "Diamlah adinda, jangan menangis! Aku akan pergi mencarikan adinda buah mempelam dan aku berikan kepada adinda"

Barulah isterinya diam mendengar hal tersebut. Maka si suami pergi ke pasar mencari buah mangga. Setelah sampai di kedai tempat orang berjual buah mangga, Si Miskin berhenti hendak meminta namun takut dipukuli. Orang yang berjualan berkata "Hai miskin, mau apakah engkau?". Si miskin menyahut "Aku hendak memohon belas kasihanmu, kasihanilah aku yang miskin ini. Bolehkah saya meminta buah mangga yang busuk itu sebiji saja?"

Orang itu merasa iba mendengar perkataan Si Miskin. Ketika itu ada yang memberi buah mangga, ada yang memberi nasi, ada yang memberi baju dan buah-buahan. Karena itulah, Si Miskin merasa heran kepada dirinya karena orang-orang pasar banyak memberinya. Karena dahulu ia tidak boleh masuk ke dalam kampung dan dilempari orang-orang. Setelah ia berpikir mengenai hal itu, ia masuk ke hutan dan menceritakan kejadian ketika di pasar. Isterinya menangis mendengar cerita suaminya karena tidak mau memakan jika buah mangga tersebut bukan berasal dari taman raja. 

Suaminya merasa sebal melihat kelakuan isterinya namun ia tak berdaya. Maka ia menghadap indera Dewa ketika sedang ramai berkumpul bersama raja-raja. Si Miskin datang dan masuk ke dalam. Baginda bertanya "Hai Si Miskin, apa kehendakmu?". Si miskin menjawab sambil bersujud "Ampun tuanku, beribu ampun, hamba orang miskin hendak meminta daun mangga Syah Alam yang sudah jatuh tuanku". Baginda berkata "Akan kau gunakan apa daun mangga itu?". Si miskin menjawab "Hendak di makan tuanku". Baginda berkata "Ambilkanlah setangkai untuk si miskin ini!". Si miskin diambilkan dan dibawanya seraya menyembah kepada baginda dan berjalan ke luar.

Setelah itu, baginda masuk ke dalam istananya. Seluruh raja-raja, menteri dan hulubalang beserta rakyat pulang ke rumahnya masing-masing. Si miskin sampai ke tempatnya. Setelah isterinya melihat kedatangannya membawa buah mangga setangkai, Sang Isteri menyambut sambil tertawa lalu dimakannya buah mangga itu. Setelah tiga bulan lamanya, si isteri menangis hendak makan buah nangka yang ada di dalam istana raja. 

Si miskin pergi meminta kepada baginda. Ia bersujud kepada baginda. Baginda bertanya "Apa lagi kehendakmu hai miskin?". Si miskin menjawab "Ya tuanku, ampun beribu ampun" Sambil bersujud "Hamba yang miskin ini hendak meminta daun nangka yang gugur itu sehelai". Baginda berkata "Hendak kau apakan daun nangka? Baiklah aku beri buahnya sebiji". Lalu diberikan kepada si miskin. Lalu si miskin bersujud seraya bermohon hendak kembali kepada isterinya.  Setelah sampai di tempatnya dan dilihatnya isterinya. Disambutnya buah nangka itu lalu dimakannya.

Ketika isterinya hamil menjadi banyak makanan dan kain baju, beras, padi, dan segala perkakas diberi orang. Karena itu, setelah genap sembilan bulan, pada malam empat belas bulan temaram isterinya melahirkan seorang putera yang tampan. Diberi nama Markaromah yang berarti "Anak Susah". Anak itu dirawatnya denagn baik dan penuh kasih sayang.

Karena takdir Allah SWT kepada hambanya. Si miskin menggal tanah untuk tinggal bertiga bersama anaknya. Digalilah tanah itu untuk menancapkan tiang. Ia menemukan bongkahan emas yang banyak. Ketika isterinya melihat emas itu seraya berkata "Emas ini cukup buat anak cucu kita dan tidak akan habis untuk belanja". Keduanya merasa sukacita. Diambilnya emas itu dan dibawa ke saudagar di negeri entah berantah. 

Demikianlah Contoh Teks Hikayat Singkat Indonesia. Bagikan uraian ini kepada teman yang membutuhkan. Terima kasih, semoga bermanfaat.
2020+ Contoh Teks Hikayat Singkat Indonesia Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Author Ilmusiana

0 komentar:

Post a Comment